Jakarta, infodkj.com | Sabtu (28/9/2024) - Menyelami aspirasi warga Jakarta, terutama masyarakat Betawi, tidak hanya sebatas turun ke lapangan atau mengikuti kerumunan. Aspirasi sejati dapat diperoleh dengan kepekaan hati dan naluri kemanusiaan. Pertanyaannya, apa kegelisahan utama masyarakat Jakarta hari ini?
Kita semua sudah tahu jawabannya.
Membangun sebuah kota bukan hanya soal membangun infrastruktur megah atau memastikan kebersihan kota. Ada hal yang lebih mendasar: pembangunan manusia. Lihat saja Alexander Agung yang membangun Alexandria sebagai pusat budaya dunia. Dia tidak hanya membangun fisik kota, tetapi juga menghidupkan kebudayaan dengan mendirikan perpustakaan terbesar di dunia pada masa itu.
Falsafah hidup masyarakat Betawi, yang dikenal dengan istilah "Sekolah, Sholat, dan Silat" (3S), juga sejalan dengan hal ini. Sekolah menjadi urutan pertama karena ilmu adalah dasar dari segala tindakan. Setelah itu baru sholat dan silat—yang merepresentasikan keterampilan emosional dan spiritual. Seperti Alexandria, Jakarta juga harus dibangun dengan landasan pendidikan yang kuat.
Tantangan bagi masyarakat Betawi, terutama di tengah modernisasi Jakarta sebagai kota global, kian kompleks. Mereka yang berada di lapisan ekonomi terbawah sering kali dicitrakan negatif—malas, temperamental, atau tak mampu bersaing. Berdasarkan data Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), sekitar 2,5 juta warga Jakarta hidup dalam kemiskinan, dengan sebagian besar di antaranya adalah masyarakat Betawi. Ironisnya, mereka justru warga asli kota ini, yang seharusnya mendapat manfaat dari perubahan ekonomi dan fisik kota.
Selain itu, Jakarta menduduki posisi ke-74 dari 156 kota dalam laporan The Global Cities Report 2023. Ini menunjukkan bahwa meskipun Jakarta sudah mulai bertransformasi, masih banyak tantangan yang harus dihadapi untuk menjadi kota global yang sesungguhnya.
Menjadi kota global menuntut Jakarta membuka peluang kerjasama internasional, didukung dengan infrastruktur canggih, transportasi modern, dan sistem energi berkelanjutan. Namun, warga lokal, khususnya masyarakat Betawi, dihadapkan pada tantangan berat untuk bisa ikut berpartisipasi dan meraih manfaat dari semua ini.
Beberapa regulasi yang ada, seperti Perda Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pelestarian Budaya Betawi dan revisi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2024 tentang Daerah Khusus Jakarta, sudah mulai menunjukkan keberpihakan pada masyarakat lokal. Tantangan berikutnya adalah memastikan implementasi regulasi ini agar bisa benar-benar dirasakan oleh masyarakat.
Aspirasi yang disampaikan masyarakat Betawi adalah keinginan untuk menjadi "bersih, manusiawi, dan berwibawa." Mereka ingin sehat, berkarakter sesuai adat ketimuran, serta mandiri secara finansial. Persoalannya sekarang: apakah ada calon pemimpin yang berani berkomitmen penuh untuk merealisasikan aspirasi ini?
Pilkada DKJ kali ini bukan hanya soal siapa yang akan memimpin Jakarta, tetapi juga soal siapa yang benar-benar siap membangun Betawi secara utuh—mulai dari manusianya hingga lingkungannya. Aspirasi sudah ada, pertanyaannya tinggal: siapa yang siap bertindak? (Emy/rill/dn)