Maros, infoDKJ.com | Kepolisian Resort Maros tengah menyelidiki dugaan pelecehan seksual terhadap 20 santriwati yang dilakukan oleh AH (40), seorang guru di sebuah pesantren di Kecamatan Simbang, Maros, Sulawesi Selatan.
Menurut KBO Satreskrim Polres Maros, Iptu Mukhbirin, tindakan pelaku terjadi dalam kurun waktu Oktober hingga November 2024. “Pelaku memanfaatkan momen saat santriwati menyetorkan hafalan. Aksi dilakukan di ruang kelas dan lingkungan pesantren,” ungkapnya dilansir Tribun - Timur, Selasa (5/12).
Beberapa korban melaporkan bahwa pelaku menyentuh bagian tubuh mereka, termasuk pundak, paha, hingga memasukkan tangan ke dalam pakaian. Meskipun jumlah korban mencapai 20 orang, hanya sebagian yang berani melapor kepada pihak berwajib.
"Korban saling berkomunikasi hingga terungkap bahwa jumlah korban mencapai puluhan. Sebagian besar berusia 13-14 tahun,” tambah Mukhbirin. Saat ini, pihak kepolisian masih mendalami kasus ini untuk membawa pelaku ke proses hukum.
Pelecehan Seksual di Kampus Negeri dan Agama: Permasalahan yang Belum Tuntas
Kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus terus menjadi perhatian. Di Makassar, LBH Makassar mencatat empat laporan kekerasan seksual sejak 2023 hingga 2024. Salah satu kasus melibatkan dosen di universitas negeri, yang kini tengah diproses di Pengadilan Negeri Sungguminasa, Gowa.
"Laporan menunjukkan bahwa pelaku didominasi oleh civitas akademika, seperti dosen. Ini menunjukkan adanya relasi kuasa yang memengaruhi keberanian korban melapor," ujar Nunuk Parwati Songki dari LBH Makassar.
Kasus serupa terjadi di Universitas Hasanuddin (Unhas), di mana empat mahasiswi melaporkan dosen yang menjabat kepala departemen atas dugaan pelecehan seksual. Pihak kampus telah menonaktifkan dosen tersebut dari aktivitas akademik.
Ironisnya, pelecehan seksual juga ditemukan di kampus dengan identitas keagamaan. Tahun lalu, 10 mahasiswa UIN Alauddin Makassar melaporkan pelecehan seksual, namun kasusnya mandek tanpa kejelasan hukum
Trauma Berat dan Implementasi Regulasi Lemah
Korban pelecehan seksual seringkali mengalami trauma mendalam. Seperti yang dialami salah satu mahasiswi Unhas yang enggan kembali ke kampus meski dosen pelaku sudah dinonaktifkan.
“Korban takut datang ke kampus karena khawatir akan mengalami pelecehan lagi,” kata Prof. Farida Patittingi, Ketua Satgas PPKS Unhas.
Regulasi seperti Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 dan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual 2022 sudah ada, namun pelaksanaannya dinilai belum efektif. Satgas PPKS, yang seharusnya menjadi garda terdepan, justru dianggap kurang maksimal.
Psikolog Universitas Hasanuddin, Istiana Tajuddin, menambahkan bahwa selain korban, pelaku juga perlu mendapatkan konseling agar memahami dampak perbuatannya dan mencegah tindakan serupa di masa depan.
Kasus ini menunjukkan pentingnya perlindungan yang lebih baik bagi korban, penerapan regulasi yang tegas, serta pengawasan ketat di lingkungan pendidikan untuk mencegah pelecehan seksual. (Dn)