JAKARTA, infoDKJ.com | Museum Sejarah Jakarta, yang lebih dikenal sebagai Museum Fatahillah, segera menghadirkan teknologi imersif untuk memberikan pengalaman sejarah yang lebih interaktif kepada pengunjung. Teknologi ini memungkinkan pengunjung merasakan suasana sejarah secara mendalam melalui proyeksi visual, tata suara, dan interaksi digital.
Kepala Unit Pengelola Museum Kesejarahan Jakarta, Esti Utami, menyatakan bahwa penerapan teknologi ini hampir selesai. "Sebenarnya pengerjaannya sudah selesai, tetapi saat uji coba masih ada beberapa hal yang perlu diperbaiki. Kami harap teknologi ini bisa diluncurkan pada Februari mendatang," ujarnya saat diwawancarai pada Rabu (8/1/2025).
Teknologi imersif di Museum Fatahillah akan menampilkan perjalanan panjang sejarah Jakarta, mulai dari masa prasejarah, era kerajaan, penjajahan kolonial, hingga kemerdekaan. Ruang imersif ini berlokasi di Ruang Mural, tidak jauh dari pintu masuk museum.
Saat ini, museum tersebut sudah menggunakan layar interaktif dan ruang sinema untuk memutar film sejarah. Kehadiran teknologi imersif diharapkan semakin melengkapi fasilitas modern yang ada. "Generasi muda sekarang lebih menyukai hal-hal yang interaktif. Teknologi ini menjadi salah satu cara agar mereka lebih memahami sejarah Jakarta," tambah Esti.
Museum Sejarah Jakarta merupakan salah satu destinasi wisata sejarah yang populer, terutama saat liburan. "Saat libur Natal dan Tahun Baru kemarin, kunjungan harian mencapai tiga hingga empat ribu orang. Sebelum pandemi, bahkan pernah mencapai sepuluh ribu pengunjung per hari," ungkapnya.
Selain teknologi baru, museum ini juga menyediakan pembimbing atau pemandu untuk membantu pengunjung memahami koleksi sejarah. "Kami memiliki sekitar 20 petugas setiap hari yang siap mendampingi pengunjung," jelas Esti.
Sejarah Gedung Museum Fatahillah
Gedung Museum Sejarah Jakarta memiliki sejarah panjang. Dibangun pada masa kolonial, gedung ini awalnya berfungsi sebagai Balai Kota Batavia (Stadhuis). Pembangunan dimulai pada 1620 di bawah Gubernur Jenderal Jan Pieterszoon Coen. Gedung ini juga pernah menjadi pengadilan dan penjara bawah tanah, yang salah satunya pernah menahan Pangeran Diponegoro pada 1830.
Pada masa pendudukan Jepang, gedung ini digunakan sebagai markas logistik militer. Setelah kemerdekaan, gedung tersebut sempat menjadi markas komando militer sebelum akhirnya diserahkan kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada 1968.
Gubernur Ali Sadikin meresmikan gedung ini sebagai Museum Sejarah Jakarta pada 30 Maret 1974. Meski nama resminya adalah Museum Sejarah Jakarta, masyarakat lebih mengenalnya sebagai Museum Fatahillah karena lokasinya di Jalan Taman Fatahillah.
Dengan tiket masuk yang sangat terjangkau—Rp 2.000 untuk pelajar dan Rp 5.000 untuk dewasa—pengunjung dapat menikmati sejarah Jakarta dengan cara yang lebih menarik dan modern. Kehadiran teknologi imersif diharapkan menjadi daya tarik baru bagi masyarakat, terutama generasi muda. (Red/Pokjawarkotu)