Gaza, infoDKJ.com | Minggu, 2 Februari 2025
Dunia kembali kehilangan salah satu pejuang besar Palestina. Abu Khalid Muhammad Dheif, Panglima Tertinggi Brigade Al-Qassam, gugur dalam pertempuran melawan agresi Zionis. Kesyahidan beliau diumumkan langsung oleh Juru Bicara Al-Qassam, Abu Ubaidah, beberapa hari lalu. Perjalanan hidupnya penuh dengan pengorbanan, kesabaran, dan keteguhan yang luar biasa dalam memperjuangkan tanah airnya.
Kesabaran Seorang Panglima di Tengah Ujian
Sahabat dekatnya, Bilal Rayyan, mengungkapkan betapa luar biasanya keteguhan hati Abu Khalid saat menghadapi kehilangan istri dan anak-anaknya yang gugur dalam serangan musuh. “Aku melihatnya seperti gunung yang kokoh dalam kesabaran dan keteguhan, meskipun hatinya dipenuhi duka dan kerinduan mendalam,” ujar Bilal.
Abu Khalid bahkan sempat ragu untuk menikah, karena khawatir akan membebani perempuan yang mendampinginya di medan perjuangan. Namun, saat membangun rumah tangga, ia tetap berpegang teguh pada prinsipnya dan mendidik keluarganya dengan nilai-nilai Islam serta semangat perjuangan.
Luka fisik akibat serangan musuh pun tak melemahkan semangatnya. Cedera parah di mata kanan dan ruas tulang belakang bagian bawah membuatnya mengalami nyeri hebat serta kelumpuhan sebagian tubuhnya. Meski demikian, ia tetap menjalankan tugasnya dengan penuh dedikasi. Bahkan, ia menolak mengonsumsi obat pereda sakit, memilih menahan penderitaannya dengan penuh kesabaran.
“Musuh terus menyebarkan rumor tentang kesehatannya, ada yang mengatakan beliau lumpuh, kehilangan kaki, atau tak lagi mampu berjuang. Namun, beliau tetap teguh menjalankan misinya,” ungkap Bilal.
Kesaksian Sang Istri: “Beliau adalah Seorang yang Merindukan Al-Qur’an”
Istri Abu Khalid, dalam sebuah kesaksiannya, menggambarkan sosok suaminya sebagai pribadi yang penuh kesederhanaan dan keimanan. “Tidak ada orang yang pernah saya temui lebih baik dari beliau. Saya sangat bangga dan bahagia menjadi istrinya,” tuturnya.
Sejak menikah pada 2001 hingga 2007, kehidupan mereka jauh dari kata normal. “Kami lebih banyak hidup di dalam tanah (terowongan) daripada di atas tanah. Inilah harga yang harus dibayar bagi seorang pejuang,” ujarnya.
Ia juga mengenang pesan suaminya yang selalu ingin anak-anaknya memahami dan mengamalkan Al-Qur’an. “Beliau sering berkata, ‘Saya ingin anak-anak memiliki akhlak Qur’ani.’ Ia mengajarkan mereka matematika dan ilmu lainnya serta tak ragu menegur saya jika melakukan kesalahan,” kenangnya.
Meski seorang panglima, Abu Khalid dikenal sebagai sosok yang tawadhu dan tak banyak bicara. “Ketika kami bertemu orang miskin, ia langsung menangis dan berkata, ‘Nanti di Hari Kiamat kita akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT.’”
Dalam perjuangannya, Abu Khalid menegaskan bahwa ia tidak memerangi Yahudi karena agama mereka, tetapi melawan Zionis penjajah yang telah merebut tanah airnya. “Saya tidak memerangi kelompok tertentu, melainkan mereka yang menjarah hak kami,” katanya dalam salah satu pernyataannya.
Semangat Perjuangan yang Tak Pernah Padam
Kesyahidan Abu Khalid Muhammad Dheif menjadi kehilangan besar bagi rakyat Palestina. Namun, semangat perjuangannya akan terus hidup dalam jiwa para pejuang yang meneruskan langkahnya. Kesabarannya dalam menghadapi cobaan, keteguhannya dalam menjalankan misi, serta keikhlasannya dalam berjuang menjadi inspirasi bagi seluruh dunia.
Semoga Allah merahmatinya dan menerimanya dalam barisan para syuhada. Innalillahi wa inna ilaihi raji'un. (Mustofa)