POKJAWARKOTU, infoDKJ.com | Museum Keramik dan Seni Rupa Jakarta, sebuah bangunan dengan pilar-pilar megah berdiri kokoh terletak di kawasan Kota Tua yang bersejarah, menawarkan perjalanan yang unik melalui kekayaan seni rupa dan keramik Indonesia.
Berhadapan langsung dengan Taman Fatahillah dan Museum Wayang, museum ini menjadi bagian penting dari lanskap budaya Jakarta. Kami Pokjawarkotu akan rangkum sejarah Museum di Kota Jakarta dari berbagai sumber artikel, secara singkat agar mudah memahami sejarah kota Jakarta.
Sejarah Singkat
Museum ini menempati bangunan bersejarah yang dulunya merupakan Gedung Dewan Kehakiman pada masa pemerintahan Belanda. Bangunan ini menjadi saksi bisu perjalanan sejarah Jakarta dari masa kolonial hingga kemerdekaan.
Tercatat dalam sejarah, bangunan Museum Seni Rupa dan Keramik diresmikan pada 21 Januari 1870. Bangunan itu awalnya digunakan oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk pengadilan tepatnya sebagai Kantor Dewan Kehakiman pada Benteng Batavia (Ordinaris Raad van Justitie Binnen Het Kasteel Batavia).
Adapun arsitek bangunan tersebut ialah Jhe. W.H.F.H. van Raders. Bangunan Romawi bergaya Neo Klasik itu memiliki delapan tiang besar pada depan bangunan. Bangunannya yang anggun bergaya Eropa yang disebut bentuk atrium. Bentuk ini mempunyai bangunan induk yang dilengkapi dengan dua buah bangunan sayap serta dipisahkan dua halaman yang luas.
Di belakang terdapat koridor yang menghubungkan sayap kiri dan kanan. Bagian depan merupakan pintu masuk ke Museum Seni Rupa sebagai tiruan gaya bangunan Yunani yang berasal dari pertengahan abad ke-5 SM
Bangunan tersebut diresmikan pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Pieter Miyer.
Dikutip dari Dinas Kebudayaan Jakarta, museum ini pada mulanya adalah gedung Raad van Justitie (Dewan Kehakiman pada masa pemerintahan Belanda). Dewan Kehakiman atau Raad van Justitie sendiri didirikan pada tahun 1620 yang berkantor di gedung Stadhuis. Tugas dewan ini adalah menyelesaikan masalah hukuman yang telah diputuskan oleh Collegie van Schepenen (Dewan Pemulihan Keamanan).
Apabila hukuman ini dirasakan melampaui batas, terdakwa boleh mengajukan keberatannya kepada Dewan Kehakiman. Saat pendudukan Jepang dan perjuangan kemerdekaan sekitar tahun 1944, bangunan beralih fungsi digunakan oleh tentara Jepang. Di massa kependudukan Jepang, bangunan itu juga menjadi asrama tentara dan tempat perbekalan. Keadaan ini berlangsung sampai Belanda menguasai Indonesia kembali dari tangan Jepang.
Rupanya keadaan gedung Dewan Kehakiman yang telah dirubah fungsinya oleh Jepang ini, oleh Belanda tidak dikembalikan ke fungsi asal. Belanda hanya melanjutkannya, bahkan ditambah dengan kegiatan poliklinik untuk melayani personil dan keluarga tentara.
Tempat lain yang menunjang sebagai gudang atau tempat penyimpanan kendaraan, senjata dan peralatan lain terdapat di Jl. Tongkol dan Jl. Cengkeh.
Di awal kemerdekaan, bangunan Museum Seni Rupa dan Keramik diserahkan ke TNI. Bangunan ini kemudian menjadi gudang persenjataan TNI. Pada tahun 1950-1962, daerah ini dijadikan daerah tertutup (Ring Bewaking) antara pukul 18.00-06.00 WIB untuk umum.
Sebab di lokasi tersebut tersimpan peralatan tentara yang sangat vital, meliputi: Stasiun Beos, sebelah Barat Jl. Pakin dekat Museum Bahari, Ancol, RE Martadinata dan Gunung Sahari.
Mulai tahun 1962 sebagian tentara yang mendiami gedung tersebut pindah ke tempat lain. Setelah tidak menjadi markas militer, pada tahun 1970-1973, bangunan Museum Seni Rupa dan Keramik dijadikan sebagai kantor Walikota Jakarta Barat.
Pada 10 Januari 1972, gedung dengan delapan tiang besar di bagian depan itu dijadikan bangunan bersejarah serta cagar budaya yang dilindungi.
Awal tahun 1974 dilaksanakan pemugaran terhadap gedung tersebut, dan digunakan sebagai Kantor Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta.
Dinas ini bertugas menggali, memugar dan melindungi benda-benda bersejarah, benda purbakala serta naskah-naskah.
Perjalanan gedung Museum Keramik tidak berhenti. Hingga Soeharto menjabat sebagai Presiden RI gedung ini diresmikan sebagai Balai Seni Rupa pada tanggal 20 Agustus 1976.
Pada tanggal 10 Juni 1977, sebagian gedung ini diresmikan sebagai Museum Keramik oleh Gubernur Ali Sadikin. Akhirnya, pada awal tahun 1990, Balai Seni Rupa dan Museum Keramik disatukan menjadi Museum Seni Rupa dan Keramik.
Museum tersebut dikelola oleh Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta di bawah Dinas Pariwisata dan Kebudayaan.
Sejarah Gedung
Gedung Museum Seni Rupa dan Keramik ini dibangun pada tahun 1870. Sebagai Lembaga Peradilan tertinggi Belanda (Raad van Justitie), kemudian pada masa pendudukan Jepang dan perjuangan kemerdekaan Indonesia gedung ini dijadikan sebagai asrama militer. Selanjutnya pada tahun 1967 digunakan sebagai Kantor Walikota Jakarta.
Pada tahun 1968 hingga 1975 gedung ini pernah digunakan sebagai Kantor Dinas Museum dan Sejarah DKI Jakarta. Pada tanggal 20 Agustus 1976 diresmikan sebagai Gedung Balai Seni Rupa oleh Presiden Soeharto. Dan di gedung ini pula terdapat Museum Keramik yang diresmikan oleh Bapak Ali Sadikin (Gubernur DKI Jakarta) pada tanggal 10 Juni 1977, kemudian pada tahun 1990 sampai sekarang menjadi Museum Seni Rupa dan Keramik.
Koleksi Seni Rupa
Museum ini memiliki 500-an karya seni rupa terdiri dari berbagai bahan dan teknik yang berbeda seperti patung, totem kayu, grafis, sketsa, dan batik lukis. Diantara koleksi-koleksi tersebut ada beberapa koleksi unggulan dan amat penting bagi sejarah seni rupa di Indonesia, antara lain lukisan yang berjudul ‘Pengantin Revolusi’ karya Hendra Gunawan, ‘Bupati Cianjur’ karya Raden Saleh, ‘Ibu Menyusui’ karya Dullah, ‘Seiko’ karya S. Sudjojono, dan ‘Potret Diri’ karya Affandi.
Patung yang bercirikan klasik tradisional dari Bali, totem kayu yang magis dan simbolis karya I Wayan Tjokot dan keluarga besarnya. Totem dan patung kayu karya para seniman modern, antara lain G.Sidharta, Oesman Effendi, disusul karya-karya ciptaan seniman lulusan akademis, misalnya Popo Iskandar, Achmad Sadali, Srihadi S, Fajar Sidik, Kusnadi, Rusli, Nashar, Zaini, Amang Rahman, Suparto, Irsam, Mulyadi W, Abas Alibasyah, Amri Yahya, AS Budiman, Barli, Sudjana Kerton, dan banyak seniman dari berbagai daerah.
Koleksi Keramik
Koleksi Keramik di museum ini jumlahnya cukup banyak, terdiri dari keramik lokal dan keramik asing. Keramik lokal berasal dari sentra industri daerah antara lain Aceh, Medan, Palembang, Lampung, Jakarta, Bandung, Purwakarta, Yogyakarta, Malang, Bali, Lombok dan lain-lain.
Museum ini juga memiliki keramik dari Majapahit abad ke-14 yang menunjukkan ciri keistimewaan yang indah dan bernilai sejarah yang mempunyai keragaman bentuk serta fungsi. Keramik asing meliputi berbagai bentuk, ciri, karakteristik, fungsi dan gaya berasal dari China, Jepang, Thailand, Eropa. Terbanyak dari China terutama pada masa Dinasti MIng dan Ching. keramik dari Tiongkok, Vietnam, Jepang dan Eropa dari abad 16 sampai dengan awal abad 20.
Pada tahun 1976, gedung ini diresmikan sebagai Balai Seni Rupa Jakarta atas prakarsa Wakil Presiden Adam Malik. Setahun kemudian, pada tahun 1977, Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, meresmikan gedung ini sebagai Museum Keramik. Pada tahun 1990, museum ini akhirnya dikenal sebagai Museum Seni Rupa dan Keramik.
Koleksi yang Mengagumkan
Museum ini menyimpan koleksi keramik dari berbagai daerah di Indonesia, bahkan dari negara-negara lain. Koleksi tersebut mencakup berbagai jenis keramik, mulai dari keramik kuno hingga keramik kontemporer. Selain itu, museum ini juga memiliki koleksi seni rupa yang beragam, seperti lukisan, patung, dan grafis.
Perpustakaan
Museum Seni Rupa dan Keramik dilengkapi sebuah perpustakaan yang memiliki buku-buku seni rupa dan keramik yang bisa dijadikan panduan tentang seni rupa.
Kami Pokjawarkotu mengucapkan terima kasih telah membaca artikel ini dan menyarankan anda bisa mengunjungi langsung. Di sana, anda akan menemukan banyak bangunan bersejarah yang masih berdiri kokoh. Semoga informasi ini bermanfaat, jangan lupa share dan koment ya!
Pokjawarkotu