Jakarta, infoDKJ.com | Jumat, 21 Maret 2025
PERIODE MADINAH
Merubah Nama Yatsrib Menjadi Madinah dan Kemudian Mempersaudarakan Muhajirin dan Anshar
Shallu ‘Alan Nabi
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمَّد
Setelah itu, semua orang bekerja keras dengan gembira dan penuh semangat membangun Masjid Nabawi.
Sambil bekerja, Rasulullah bersyair:
"Ya Allah, sesungguhnya pahala itu pahala akhirat, maka kasihilah sahabat-sahabat Anshar dan Muhajirin."
Para sahabat menjawab syair Rasulullah,
"Jika kami duduk termenung, padahal Nabi bekerja, yang demikian itu sungguh perbuatan yang tidak pantas."
Dua pinggiran pintu Masjid Nabawi terlebih dahulu dibuat. Dindingnya dari batu bata yang disusun dengan lumpur tanah. Batu diangkat, diletakkan, disusun, dan disisipkan sampai akhirnya masjid pun selesai.
Tempat Rasulullah Menginap di Yatsrib/Madinah
Semua keluarga di Yatsrib berebut menawarkan diri menjadi tuan rumah bagi Rasulullah. Semuanya ingin agar Rasulullah bersedia tinggal di lingkungan mereka. Rasulullah mengetahui bahwa jika ia menentukan pilihan, keluarga yang tidak terpilih akan malu dan kecewa. Karena itu, beliau memasrahkan pilihan itu kepada Allah.
Dengan halus, beliau berkata kepada semua kepala keluarga:
"Biarkanlah untaku ini berjalan karena ia diperintah oleh Allah dan akan berhenti di tempat yang Allah kehendaki."
Kaum Muslimin mengikuti Al Qushwa (unta) yang berjalan perlahan-lahan. Di suatu tempat milik dua orang anak yatim, unta Rasulullah itu berhenti dan merebahkan perutnya ke pasir. Rasulullah mengajak Al Qushwa berjalan lagi. Namun, tidak lama kemudian, ia kembali ke tempat semula dan merebahkan perutnya lagi ke pasir.
"Inilah tempat kediamanku, in syaa Allah," demikian sabda Rasulullah. Kemudian, beliau berdoa empat kali:
"Ya Allah, semoga Engkau menempatkan aku di tempat kediaman yang diberkahi dan Engkaulah sebaik-baik yang memberi tempat kediaman."
Rasulullah membeli tanah dari kedua anak yatim tersebut.
Rasulullah turun dan bertanya,
"Di mana rumah saudaraku yang paling dekat dari sini?"
Dengan penuh gembira, Abu Ayyub segera menjawab,
"Saya, ya Rasulullah! Itu rumah saya!"
Rasulullah tersenyum dan berkata,
"Baiklah Abu Ayyub, jika Anda berkenan, aku akan tinggal di rumah Anda untuk sementara waktu. Silakan sediakan tempat untukku."
Abu Ayyub tergopoh-gopoh memasuki rumahnya karena begitu gembira. Disiapkannya tempat untuk Rasulullah serapi mungkin. Kemudian, ia kembali menghadap Rasulullah dan berkata,
"Ya Rasulullah, sungguh saya sudah menyediakan tempat beristirahat bagi Tuan. Dengan berkah Allah, silakan berdiri dan masuk ke dalam."
Gentong Pecah
Rasulullah tinggal di rumah Abu Ayyub. Abu Ayyub ingin Rasulullah tinggal di lantai atas, tetapi Rasul menolak. Suatu ketika, gentong Abu Ayyub pecah dan airnya tumpah. Abu Ayyub dan istrinya segera menggunakan selimut satu-satunya untuk menyerap air agar tidak menetes ke tempat tinggal Rasulullah. Setelah itu, Abu Ayyub mendesak Rasulullah agar tinggal di atas. Akhirnya, Rasulullah pun bersedia tinggal di atas.
Mendirikan Masjid
Tujuh bulan lamanya, Rasulullah dan keluarganya tinggal di rumah Abu Ayyub. Selama itu, Abu Ayyub, Sa'ad bin Ubadah, As'ad bin Zurarah, dan yang lainnya mengirim makanan untuk keluarga Rasulullah secukup-cukupnya.
Setiap pagi dan petang, Ummu Ayyub memasak makanan dan tidak mereka makan sebelum terlebih dahulu mereka sajikan kepada Rasulullah dan keluarganya. Demikianlah budi Abu Ayyub dan keluarganya kepada Rasulullah.
Rasulullah tinggal di rumah Abu Ayyub sampai beliau mendirikan masjid dan rumah sendiri. Ketika akan mendirikan masjid, Rasulullah mengumpulkan Bani Najjar yang menjadi pemilik tanah di tempat itu.
"Wahai Bani Najjar," demikian sabda Rasulullah,
"Hendaklah kalian tawarkan harga kebun-kebun ini kepadaku karena aku akan membelinya."
Mereka menjawab,
"Ya Rasulullah, kami tidak akan menghargai kebun-kebun itu karena mengharap ridha Allah saja."
Namun, Rasulullah tetap meminta mereka memberikan harga walaupun rendah. Akhirnya, Abu Bakar membayar harganya sebesar sepuluh dinar.
Setelah itu, bersama para sahabat, Rasulullah membenahi tanah itu, membersihkan pohon, serta membongkar dan memindahkan kuburan yang sudah rusak. Setelah itu, barulah mendirikan masjid.
Rasulullah meletakkan batu pertama, lalu beliau meminta Abu Bakar meletakkan bata selanjutnya, kemudian beliau menyuruh Umar bin Khattab, setelah itu Utsman bin Affan, dan terakhir Ali bin Abu Thalib. Beliau bersabda,
"Mereka itulah khalifah-khalifah setelah aku."
Setelah itu, semua orang bekerja keras dengan gembira dan penuh semangat.
Sambil bekerja, Rasulullah bersyair,
"Ya Allah, sesungguhnya pahala itu pahala akhirat, maka kasihilah sahabat-sahabat Anshar dan Muhajirin."
Para sahabat menjawab syair Rasulullah,
"Jika kami duduk termenung, padahal Nabi bekerja, yang demikian itu sungguh perbuatan yang tidak pantas."
Dua pinggiran pintu Masjid Nabawi terlebih dahulu dibuat. Dindingnya dari batu bata yang disusun dengan lumpur tanah. Batu diangkat, diletakkan, disusun, dan disisipkan sampai akhirnya masjid pun selesai. Pagarnya dari batu dan tanah, tiangnya dari batang-batang kurma, atapnya pelepah kurma, dan lantainya dihamparkan dengan pasir serta kerikil-kerikil kecil.
Masjid ini memiliki tiga pintu. Panjang bangunannya dari arah kiblat hingga ujungnya sekitar seratus hasta, dan kedua sisinya juga sama. Pondasinya dibuat setinggi tiga hasta.
Kiblatnya menghadap ke Baitul Maqdis, karena saat itu Ka'bah belum menjadi kiblat.
Di sisi masjid, didirikan dua buah kamar untuk tempat tinggal Rasulullah dan keluarganya. Bangunannya terbuat dari bebatuan, sementara atapnya dari daun kurma yang disanggah beberapa batang pohon. Sungguh, sebuah masjid sederhana yang penuh berkah.
Warna Masjid
Umar bin Khattab pernah berkata tentang bagaimana sebuah masjid dibangun. Kata beliau,
"Lindungilah orang-orang dari tampias hujan. Janganlah kalian mewarnai (dinding masjid) dengan warna merah atau kuning sehingga dapat menimbulkan fitnah."
Shallu ‘Alan Nabi
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمَّد
Bersambung ke bagian 68 ...
Sirah Nabawiyah: Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri