Jakarta, infoDKJ.com | Kamis, 10 April 2025
Oleh: Ahmad Suhijriah - Komunikolog
Depopulasi adalah istilah yang merujuk pada penurunan jumlah penduduk di suatu wilayah atau negara. Ini bisa terjadi karena beberapa faktor, antara lain angka kelahiran yang rendah yaitu lebih sedikit bayi yang lahir dibandingkan jumlah orang yang meninggal. Depopulasi terjadi juga akibat dari tingkat kematian yang tinggi disebabkan oleh perang, bencana alam, penyakit, atau kondisi ekonomi/sosial yang buruk. Pemerintah juga bisa melakukan depopulasi yaitu dengan mengeluarkan kebijakan politik seperti pembatasan kelahiran atau relokasi paksa dengan terbuka atau tertutup. Depopulasi bisa menjadi masalah serius karena dapat memengaruhi ekonomi, tenaga kerja, dan struktur sosial suatu wilayah. Misalnya, jika jumlah orang tua lebih banyak daripada anak muda, beban ekonomi bisa meningkat karena lebih sedikit orang yang bekerja dan lebih banyak yang membutuhkan perawatan.
Dengan adanya revolusi teknologi, maka depopulasi sangat mudah terjadi. Bayangkan hidup Anda dinilai oleh angka produktivitas, genetik, kontribusi ekonomi. Lalu bayangkan angka-angka itu diproses oleh mesin, dan dari sanalah ditentukan apakah Anda berhak mendapat layanan kesehatan, boleh atau tidak punya anak, atau bahkan layak tinggal di suatu wilayah. Ini bukan naskah fiksi ilmiah. Ini adalah arah yang dituju oleh sebagian model pembangunan berbasis kecerdasan buatan (AI), dan fenomena ini bisa disebut sebagai depopulasi algoritmik.
Depopulasi algoritmik bukan berarti pemusnahan manusia secara massal dan brutal. Ia bekerja diam-diam, lewat sistem yang tampak netral dan efisien. Sebuah sistem AI bisa memutuskan, berdasarkan data, siapa yang "bernilai tinggi" dan siapa yang tidak layak diberi akses sumber daya. Tanpa kekerasan, tapi dengan konsekuensi yang sangat kejam, populasi miskin, lansia, atau tak terkomputerisasi perlahan-lahan terhapus dari sistem.
Di negara dengan tingkat adopsi teknologi tinggi, fenomena ini sudah mulai terasa. Akses layanan dasar bergantung pada jejak digital. Tanpa skor kredit atau riwayat medis digital, seseorang bisa dianggap tidak ada. Maka, siapa yang tertinggal dari sistem ini akan terkikis secara sosial, ekonomi, bahkan biologis. Ini bukan hanya teori, di beberapa kota besar dunia, warga yang tidak memiliki identitas digital atau riwayat konsumsi yang baik kesulitan mengakses perbankan, pekerjaan, dan bahkan pendidikan untuk anak-anak mereka. Jika tren ini terus berkembang, akan muncul satu pertanyaan mendasar yaitu, apakah kita masih menjadi manusia sepenuhnya, atau hanya menjadi angka-angka dalam logika sistem?
Apa yang menjadi sesuatu mengerikan dari depopulasi algoritmik adalah absennya akuntabilitas. Tidak ada aparat militer, tidak ada pemimpin diktator, hanya baris kode yang membuat keputusan final. Siapa yang bertanggung jawab saat seseorang gagal mendapatkan akses hidup layak? Jawabannya sering kali: "Itu keputusan sistem."
Lebih dari sekadar alat, AI kini mulai diadopsi sebagai penentu kebijakan. Pemerintah dan korporasi besar mengandalkannya untuk efisiensi anggaran, pemetaan risiko, hingga seleksi sumber daya manusia. Namun, efisiensi tidak selalu berarti adil. Sebuah algoritma yang dirancang untuk meminimalisasi pemborosan bisa sekaligus meminimalkan keberadaan manusia-manusia yang dianggap “tidak efisien”.
Fenomena ini bisa semakin mengkhawatirkan jika menyasar kelompok rentan seperti penyandang disabilitas, komunitas adat, warga pedesaan, dan kelompok minoritas. Jika kebijakan berbasis data ini tidak dibarengi dengan pendekatan etis dan sosial, maka AI akan menjadi alat seleksi sosial paling dingin namun sadis yang pernah diciptakan manusia.
AI juga memiliki pengaruh tidak langsung pada otomatisasi dan penurunan kelahiran. AI menggantikan pekerjaan manusia di sektor manufaktur, administrasi, transportasi, bahkan layanan publik. Akibatnya ketidakstabilan ekonomi dan ketakutan kehilangan pekerjaan dan terjadi depresi ekonomi yang sangat berat. Sehingga terjadi depresi personal yang bisa saja membuat orang enggan punya anak. Contoh nyata: Jepang, Korea Selatan, dan beberapa negara Eropa, penggunaan AI dan robotik yang tinggi beriringan dengan tingkat kelahiran yang rendah. Pria dan wanita enggan berumah tangga dan lebih memilih AI robotik sebagai pendamping hidupnya. Jika ini sudah masif terjadi maka bisa dipastikan hilangnya reproduksi manusia sebagai penerus dan penjaga kalam Tuhan.
Kita tidak bisa menolak AI. Tapi kita bisa dan harus mengawalnya. Kecerdasan buatan bukan musuh, kecuali jika ia disalahgunakan oleh kepentingan politik atau ekonomi yang tidak peduli pada keadilan sosial. Para pembuat kebijakan harus memastikan bahwa teknologi tidak mengikis nilai-nilai kemanusiaan. Transparansi, regulasi etis, dan pelibatan publik adalah prasyarat utama sebelum AI menjadi pengelola hidup kita. Algoritma yang mengatur layanan publik harus diaudit secara terbuka. Penilaian skor sosial atau kesehatan harus bisa diperdebatkan dan dikoreksi. Yang tak kalah penting, ada kebutuhan mendesak untuk melibatkan ahli etika, antropolog, dan sosiolog dalam pengembangan sistem-sistem ini bukan hanya insinyur dan ekonom.
Sebagai masyarakat, kita juga perlu meningkatkan kesadaran digital. Literasi algoritma harus masuk ke dalam kurikulum pendidikan. Kita harus tahu bagaimana data kita digunakan, oleh siapa, dan untuk tujuan apa. Rasanya sulit kita menentang AI. Tapi kita menolak masa depan di mana mesin memutuskan siapa yang boleh dilahirkan dan siapa yang tidak. Depopulasi algoritmik adalah peringatan dini bahwa kemajuan tanpa empati justru membawa kita mundur bahkan memiliki potensi besar lenyapnya mahluk yang bernama manusia dengan tanpa adanya pertumpahan darah.
Dalam dunia yang semakin dikelola oleh sistem cerdas, kita tidak boleh kehilangan akal sehat dan nurani. Karena jika tidak, kita bukan hanya berisiko kehilangan pekerjaan—kita bisa kehilangan hak untuk ada sebagai penghuni bumi. Jangan tunggu sampai kita hanya jadi statistik dalam sistem yang tidak mengenal belas kasih.