Jakarta, infoDKJ.com | Senin, 14 April 2025
Pada tahun 1955, Indonesia kedatangan dua tamu istimewa dari Mesir yang namanya begitu harum dalam dunia Al-Qur’an: Syaikh Muhammad Shiddiq Al-Minsyawi dan Syaikh Abdul Basith Abdus Shamad. Keduanya merupakan Qari kenamaan yang tidak hanya memiliki suara merdu dan penuh penghayatan, tetapi juga dikenal sebagai Hafizh Al-Qur’an yang sangat dihormati.
Kedatangan dua qari legendaris ini ke Tanah Air atas undangan langsung Presiden Sukarno, menjadi momen bersejarah yang tak terlupakan bagi umat Islam Indonesia. Mereka berkeliling di beberapa kota besar di Indonesia, memperdengarkan tilawah yang begitu syahdu dan menggugah jiwa.
Dalam setiap lantunan ayat yang dibacakan oleh Syaikh Muhammad Shiddiq Al-Minsyawi, suasana menjadi hening dan penuh haru. Tidak sedikit dari jamaah yang hadir larut dalam tangis, meresapi kalamullah yang disampaikan dengan kekhusyukan luar biasa. Getar suara Syaikh Al-Minsyawi menembus dinding hati, menggugah keimanan, dan membangkitkan kecintaan terhadap Al-Qur’an.
Kenangan indah itu begitu membekas dalam diri Syaikh Al-Minsyawi. Sekembalinya ke Mesir, beliau menuangkan pengalamannya dalam sepucuk surat yang sangat menyentuh hati. Dalam surat tersebut, beliau menulis:
"Saya belum pernah melihat sambutan yang begitu luar biasa terhadap Ahlul Quran, sebagaimana sambutan yang diberikan oleh rakyat Indonesia. Mereka begitu merindukan Al Quran, bahkan mereka mendengarkan Al Quran dengan seksama, serta larut dalam tangisan selama berlangsungnya pembacaan Al Quran. Sungguh hal itu membuatku hanyut dalam isak tangis, karena pengagungan yang sejati dari Rakyat Muslim Indonesia terhadap Kitab Allah."
Kata-kata itu menjadi saksi cinta umat Islam Indonesia terhadap Al-Qur’an. Sebuah bangsa yang jauh dari jazirah Arab, namun memiliki kecintaan yang mendalam terhadap kitab suci umat Islam. Penghormatan dan keikhlasan rakyat Indonesia dalam menyambut para pembaca Al-Qur’an menjadi teladan yang menyejukkan hati.
Kenangan Syaikh Al-Minsyawi bukan hanya menjadi catatan sejarah, tetapi juga menjadi pengingat bahwa cinta kepada Al-Qur’an adalah ruh dari peradaban Islam. Semoga semangat itu terus hidup dan diwariskan kepada generasi berikutnya, agar tilawah yang khusyuk dan tangisan karena rindu akan kalamullah tetap menjadi bagian dari jati diri umat Islam di negeri ini.
(Adang)