Jakarta, infoDKJ.com | Sabtu, 26 April 2025
PERIODE MADINAH
Sahid Terbunuhnya 10 Orang Juru Dakwah Yang Dikirim Nabi Saw
Abu Sufyan terpana sambil menggeleng kagum. Ia berkata, “Belum pernah aku melihat seorang begitu mencintai sahabatnya sedemikian rupa seperti sahabat-sahabat Muhammad mencintai Muhammad.”
Zaid pun dipenggal. Ia gugur sebagai syahid yang memegang teguh amanat Rasulullah.
KISAH RASULULLAH ﷺ
Shallu ‘alan Nabi…
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمَّد
Peristiwa Ar Raji - Juru dakwah dibunuh
Peristiwa Uhud memiliki citra negatif terhadap kaum Muslim. Para musuh mulai berani melakukan penyerangan.
Pada bulan Shafar tahun ke-4 Hijriah, ada beberapa orang dari Desa Adhal dan Qarah datang ke Rasulullah ﷺ. Mereka mengabarkan bahwa di kaumnya ada beberapa kaum Muslim. Mereka meminta agar dikirim beberapa orang untuk mengajarkan Islam dan membacakan ayat-ayat Al-Qur'an kepada mereka.
Rasulullah ﷺ selalu siap mengirim para sahabatnya untuk mengajarkan Islam kepada setiap suku yang memerlukan. Karena itu, dengan prasangka baik Rasulullah memenuhi permintaan Bani Hudzail.
Saat itu utusan berkata:
“Muhammad, di kalangan kami ada beberapa orang Islam. Kirimkanlah beberapa orang sahabat Tuan bersama kami yang kelak akan dapat mengajarkan hukum Islam dan Al-Qur'an kepada kami.”
Rasulullah ﷺ mengutus sebanyak 10 orang sahabat yang dipimpin oleh Ashim bin Tsabit. Delegasi tersebut pun berangkat.
Sepuluh orang sahabat itu diutus dan pergi bersama rombongan penjemput dari kaum Hudzail.
Pengkhianatan terjadi ketika mereka sampai di pangkalan air Ar Raji milik Bani Hudzail. Sepuluh orang sahabat itu dikepung. Begitu sadar bahwa mereka masuk dalam perangkap, kesepuluh dai itu mencabut pedang. Hanya senjata itu yang mereka bawa, namun di wajah mereka tidak terlihat gentar sedikit pun.
Orang-orang Adhal dan Qarah yang berkhianat tersebut berteriak meminta bantuan ke Bani Lahyan. Sekitar 100 orang pemanah datang dan mengepung pasukan Muslim yang berada di atas bukit.
Orang-orang Hudzail berkata:
“Demi Tuhan, kami tidak ingin membunuh kalian. Kalian akan kami jual kepada penduduk Makkah sebagai tawanan. Kami berjanji atas nama Tuhan kami bahwa kami tidak bermaksud membunuh kalian, karena itu menyerahlah.”
Ashim bin Tsabit, sang pemimpin
Melihat kesepuluh sahabat itu saling berpandangan, mereka menyadari bahwa apabila dibawa ke Makkah sebagai tawanan, mereka pasti akan disiksa habis-habisan dan dibunuh. Itu berarti penganiayaan besar yang lebih berat daripada pembunuhan biasa.
Setelah saling sepakat dalam hati, salah seorang sahabat menjawab:
“Kami tidak akan menyerah. Lakukan apa yang kalian mau. Kami sudah siap bertarung membela kehormatan agama dan Nabi kami.”
Maka orang-orang Hudzail yang jauh lebih banyak jumlahnya itu pun menyerang. Kesepuluh sahabat itu bertarung dengan gigih. Pedang mereka ayunkan dengan tangkas untuk menebas hujan panah atau menangkis tusukan tombak. Pertarungan yang tidak seimbang itu pun berakhir. Tujuh orang syahid dan tiga orang lagi berhasil ditangkap hidup-hidup.
Mereka yang ditangkap adalah Abdullah bin Thariq, Zaid bin Adatsinah, dan Khubaib bin Adiy. Kemudian mereka segera dibelenggu dengan kuat dan dibawa ke Makkah.
Di tengah jalan, Abdullah bin Thariq berhasil melepaskan diri dari pengikat.
“Harus ada yang memberitahu Rasulullah ﷺ tentang pengkhianatan ini!” demikian pikir Abdullah.
“Aku harus berusaha meloloskan diri sekarang. Namun jika gagal, aku sudah siap menyusul ketujuh temanku yang lain ke akhirat,” katanya.
Zaid bin Adatsinah
Abdullah bin Thariq menyerang seorang pengawal dan berhasil merebut pedangnya. Dengan pedang itu ia berusaha merebut seekor kuda. Namun orang-orang Hudzail segera pulih dari rasa terkejutnya.
Mereka mengambil batu dan melempari Abdullah dari belakang. Batu-batu sebesar kepalan tangan menghantam tubuh dan kepala sahabat mulia itu. Abdullah jatuh bersimbah darah dan gugur dalam keadaan yang sangat diimpikan setiap Muslim: syahid membela agama.
Kedua tawanan yang lain terus dibawa ke Makkah dan dijual.
Zaid bin Adatsinah dijual kepada Shafwan bin Umayyah.
“Aku akan membunuhnya sebagai balasan terbunuhnya ayahku di tangan mereka,” geram Shafwan dengan mata menyala-nyala.
Ayah Shafwan, Umayyah bin Khalaf, dibunuh Bilal bin Rabah dalam Perang Badar.
“Nastas,” panggil Shafwan keras-keras.
Seorang budak berbadan tegap datang.
“Siksa dan bunuh orang ini,” perintah Shafwan kepada Nastas.
“Bawa dia ke tempat di mana semua orang bisa melihatnya!” ujar Shafwan.
Zaid pun diseret-seret melalui jalan-jalan di Makkah.
Sebagian orang menyoraki dan mencemoohnya. Sebagian lain menaruh kagum dalam hati melihat ketabahan Zaid. Tak terlihat sedikit pun rasa takut di wajah Zaid.
Di tengah siksaan itu, Zaid tetap tampak berwibawa dan teguh seperti bukit cadas.
Di tempat Zaid akan dibunuh, Abu Sufyan datang mendekat.
“Zaid, orang segagah engkau tidak pantas mati begini,” ujar Abu Sufyan.
“Bersediakah engkau memberikan tempatmu itu pada Muhammad? Dialah yang harus dipenggal lehernya, sedang kau dapat kembali kepada keluargamu!”
Zaid menatap Abu Sufyan seakan heran dengan pertanyaan itu.
“Tidak,” jawab Zaid.
“Seandainya Rasulullah ﷺ di tempatnya sekarang ini akan menderita karena tertusuk duri sekali pun, sedang aku ada di tempat keluargaku, aku tidak akan rela!”
Abu Sufyan terpana sambil menggeleng kagum. Ia berkata,
“Belum pernah aku melihat seorang begitu mencintai sahabatnya sedemikian rupa seperti **sahabat-sahabat Muhammad mencintai Muhammad.”
Zaid pun dipenggal. Ia gugur sebagai syahid yang memegang teguh amanat Rasulullah.
Diriwayatkan oleh Tabrani dari Ibnu Abbas, Rasulullah ﷺ bersabda: Sekuat-kuat ikatan iman adalah persaudaraan karena Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى, cinta karena Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى dan membenci karena Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى.
Shallu ‘alan Nabi…
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمَّد
Bersambung ke bagian 103 ...
Sirah Nabawiyah: Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri