Jakarta, infoDKJ.com | Selasa, 8 April 2025
PERIODE MADINAH
Persekongkolan Untuk Membunuh Nabi Muhammad
Tidak beberapa lama seusai Perang Badar, Umair bin Wahab Al-Jamī’ dan Safwan bin Umayyah duduk bersama di sebuah batu. Umair adalah salah seorang "Syaithan" Quraisy yang selalu menyakiti Nabi Muhammad ﷺ dan para sahabat beliau ketika masih berada di Mekkah. Sedangkan anaknya yang bernama Wahab bin Umair menjadi tawanan Badar.
"Aku pasti aku akan mendatangi Muhammad dan membunuhnya. Aku mempunyai alasan yaitu anakku yang menjadi tawanan mereka.”
Selanjutnya Umair mengambil pedangnya, lalu dia berangkat ke Madinah.
KISAH RASULULLAH ﷺ
اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ مُحَمَّد
Berbagai Operasi Militer Antara Badar dan Uhud
Perang Badar merupakan awal pertarungan bersenjata antara kaum muslimin dan kaum musyrikin, dan merupakan peperangan yang menentukan.
Padahal, banyak yang memperkirakan pasukan musyrik akan mudah mengalahkan pasukan Muslim, mengingat jumlah pasukan musyrik jauh lebih banyak.
Kaum muslimin memperoleh kemenangan besar yang tak terduga. Ini membelalakkan mata seluruh bangsa Arab yang selama ini memandang sebelah mata terhadap kaum muslimin dan Nabi Muhammad ﷺ.
Keberhasilan kaum muslimin ini memunculkan ketidaksenangan pada tiga kelompok, yaitu:
Pertama:
Mereka tidak mau menerima kenyataan bahwa kaum muslimin jauh lebih perkasa dan lebih hebat dari pasukan kaum musyrik. Mereka melihat keberadaan kaum muslimin sebagai ancaman serius dan merupakan pukulan telak terhadap eksistensi keagamaan dan perekonomian mereka, yaitu kaum Yahudi.
Kedua:
Abdullah bin Ubay dan kawan-kawannya. Di Madinah terdapat para pendukung kelompok tersebut, dan mereka berpura-pura masuk Islam tatkala tidak ada tempat lagi untuk meraih kewibawaan mereka. Mereka adalah Abdullah bin Ubay dan teman-temannya. Kelompok ini lebih besar lagi kemarahannya daripada kelompok lain.
Mereka ini telah masuk Islam, tetapi bersahabat dengan kalangan Yahudi dan musyrik. Mereka juga memiliki rasa benci dan dendam kepada kaum muslim.
Ketiga:
Orang-orang Arab badui yang tinggal di sekitar Madinah. Mereka ini tidak memusuhi kaum Muslim. Pada dasarnya, mereka tidak peduli dengan urusan iman dan agama. Ketidaksukaan kepada kaum muslimin lebih pada motif ekonomi. Mereka khawatir kemenangan kaum Muslim akan mengancam pekerjaan mereka sehari-hari: merampas dan merampok.
Masalah kekufuran dan keimanan tidaklah menjadi perhatian mereka. Tetapi mereka adalah para perampok dan perampas. Mereka mulai goncang karena kemenangan yang diraih kaum muslimin. Mereka khawatir akan tegak di Madinah suatu negara yang kuat, yang akan menghalangi mereka untuk meraih kesuksesan atau kekuatan melalui perampokan dan perampasan. Sehingga mereka pun membenci kaum muslimin dan menjadi musuh mereka.
Sejak kaum muslimin meraih kemenangan dalam Perang Badar, ketiga kelompok tersebut menyimpan amarah terhadap kaum muslimin. Sebagaimana tertera dalam firman Allah:
“Sesungguhnya kamu dapati orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi dan orang-orang musyrik. Dan sesungguhnya kamu dapati yang paling dekat persahabatannya dengan orang-orang yang beriman ialah orang-orang yang berkata: Sesungguhnya kami ini orang Nasrani. Yang demikian itu disebabkan karena di antara mereka itu (orang-orang Nasrani) terdapat pendeta-pendeta dan rahib-rahib, (juga) karena sesungguhnya mereka tidak menyombongkan diri.”
Surah Al-Ma'idah (5:82)
Bisa dibayangkan bagaimana kondisi kaum Muslim saat itu di Madinah.
Kaum Muslim dikepung musuh-musuhnya dari berbagai penjuru.
Setiap hari musuh-musuh itu berusaha mengancam kaum Muslim.
Kondisi ini tentu tidak dapat dibiarkan terus menerus karena akan membuat resah kaum Muslim.
Rasulullah ﷺ merespon dan mengatasi masalah ini dengan cara mengirimkan satuan pasukan. Beberapa peristiwa pun terpapar pada masa peristiwa ini antara lain:
Perang Bani Sulaim
Bani Sulaim bergerak untuk menyerang Madinah. Berita pertama ini disampaikan oleh utusan dari Madinah kepada Nabi ﷺ. Bani Sulaim ini berasal dari kabilah Ghathafan. Mereka menggalang kekuatannya untuk menyerang Madinah, seminggu setelah kaum Muslim pulang dari Perang Badar, pada bulan Muharram tahun ke-2 Hijrah.
Nabi ﷺ dengan pasukan kavaleri yang berkekuatan 200 personel mendatangi kabilah tersebut di perkampungannya. Sesampainya beliau di wilayah mereka, di daerah al-Kudr, Bani Sulaim melarikan diri dan meninggalkan 500 ekor unta. Mereka meninggalkan untanya di suatu lembah yang dikuasai oleh pasukan Madinah.
Unta-unta tersebut diambil seperlimanya oleh Rasulullah ﷺ. Rasulullah membagikan unta-unta tersebut kepada para sahabatnya. Setiap orang mempunyai dua ekor unta.
Di perkampungan Bani Sulaim tersebut Nabi ﷺ tinggal selama tiga hari. Kemudian beliau kembali ke Madinah.
Peperangan ini terjadi pada bulan Muharram tahun kedua Hijriyah, 7 hari setelah pulang dari Perang Badar. Dalam peperangan tersebut Nabi ﷺ menyerahkan urusan Madinah kepada Siba’ bin Arfatah.
Persekongkolan untuk Membunuh Nabi Muhammad
Kekalahan kaum musyrikin dalam Perang Badar menimbulkan dampak yang mendalam. Kaum Quraisy di Makkah menjadi marah dan mulai meluap-luap emosinya terhadap Nabi Muhammad ﷺ.
Ada dua orang tokoh Quraisy yang melakukan persekongkolan untuk membunuh Nabi Muhammad ﷺ.
Tidak beberapa lama seusai Perang Badar, Umair bin Wahab Al-Jamī’ dan Safwan bin Umayyah duduk bersama di sebuah batu. Umair adalah salah seorang "Syaithan" Quraisy yang selalu menyakiti Nabi Muhammad ﷺ dan para sahabat beliau ketika masih berada di Mekkah. Sedangkan anaknya yang bernama Wahab bin Umair menjadi tawanan Badar.
Umair menyebutkan para tokoh korban Perang Badar, lalu Safwan berkata:
"Sesungguhnya setelah kematian mereka akan datang kehidupan yang baik."
Umair berkata kepadanya:
"Sungguh, kamu benar. Demi Allah, seandainya aku tidak mempunyai tanggungan hutang, dan tidak khawatir terlantar setelah aku mati, pasti aku akan mendatangi Muhammad dan membunuhnya. Aku mempunyai alasan yaitu anakku yang menjadi tawanan mereka.”
Safwan pun menjawab:
"Utangmu aku tanggung, aku yang akan melunasinya, dan keluargamu bersama keluargaku selama mereka masih hidup. Hal itu tidak berat bagiku."
Umair kemudian berkata:
"Rahasiakanlah persoalan ini, akan kulakukan."
Selanjutnya Umair mengambil pedangnya, lalu dia berangkat ke Madinah. Ketika sudah sampai di pintu masjid, dia menderumkan untanya. Terlihat olehnya Umar Ibnul Khattab yang sedang berbincang-bincang dengan beberapa orang dari kaum muslimin tentang kemenangan Perang Badar.
Maka Umar berkata:
"Ini musuh Allah."
"Umair tidaklah datang kecuali untuk maksud jahat."
Kemudian Umar masuk mendatangi Nabi Muhammad ﷺ seraya berkata:
"Wahai Nabi Allah, Umair musuh Allah telah datang dengan menyandang pedangnya."
Nabi menjawab:
"Suruhlah masuk menemui aku."
Umar pun menemui Umair, dan sambil menarik tali pedang Umair, ia berkata kepada beberapa orang dari kaum Anshar:
"Masuklah, temui Rasulullah ﷺ dan duduklah di sisi beliau, serta jagalah beliau dari orang jahat ini, karena dia perlu diwaspadai."
Bersambung ke bagian 85 ...
Sirah Nabawiyah: Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri