Jakarta, infoDKJ.com | Gelombang baru kasus megakorupsi kembali mengusik dunia peradilan Indonesia. Kali ini, sorotan tajam tertuju pada praktik suap dalam perkara korupsi ekspor minyak kelapa sawit (CPO) yang menyeret nama-nama besar dalam sistem peradilan. Uang panas sebesar Rp60 miliar diduga digelontorkan demi sebuah vonis lepas.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, Abdul Qohar, menyebut dua pengacara korporasi raksasa—Marcella Santoso dan Ariyanto—berperan sebagai pemberi suap. Keduanya mewakili PT Permata Hijau Group, PT Wilmar Group, dan PT Musim Mas Group.
Dana suap itu mengalir ke tangan Muhammad Arif Nuryanta, kala itu menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, melalui perantara Wahyu Gunawan, Panitera Muda di pengadilan yang sama.
“Uang tersebut diberikan dalam rangka memuluskan vonis onslag (lepas dari segala tuntutan) untuk terdakwa dalam perkara korupsi ekspor CPO,” terang Qohar.
Tak berhenti sampai di situ. Arif disebut menggunakan pengaruh jabatannya untuk menyusun susunan majelis hakim yang "tepat", terdiri dari Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom. Ketiganya juga diduga menerima bagian dari suap sebagai imbalan atas vonis lepas yang mereka jatuhkan.
Vonis itu menimbulkan kejanggalan. Meski unsur pidana terpenuhi, majelis hakim menyatakan perkara tersebut bukan merupakan tindak pidana.
Respons Lembaga Hukum dan Yudikatif
Menanggapi vonis tersebut, Kejaksaan Agung bergerak cepat. Jaksa Penuntut Umum (JPU) telah mengajukan kasasi pada 27 Maret 2025.
"Kami menilai vonis lepas tersebut tidak sejalan dengan tuntutan jaksa, terutama terkait pertanggungjawaban ganti rugi dari para terdakwa," kata Harli Siregar, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung.
Di sisi lain, Mahkamah Agung pun mengambil langkah tegas. Empat hakim dan panitera yang terlibat dalam pusaran suap telah diberhentikan sementara dari jabatannya.
“Hakim dan panitera yang ditahan dan ditetapkan sebagai tersangka akan diberhentikan sementara. Jika sudah ada putusan berkekuatan hukum tetap, maka mereka akan diberhentikan secara tetap,” tegas Juru Bicara MA, Yanto.
Tak ketinggalan, Komisi Yudisial (KY) turut turun tangan. Lembaga pengawas etik hakim ini mulai mengumpulkan informasi dan akan segera berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung serta Mahkamah Agung.
“Tim kami sedang mendalami informasi awal. Prinsipnya, jika ada indikasi pelanggaran kode etik, KY akan memproses temuan tersebut sesuai kewenangannya,” ujar Juru Bicara KY, Mukti Fajar.
Kasus ini menjadi alarm keras bagi dunia peradilan Indonesia. Vonis bukan lagi semata hasil proses hukum, tapi bisa jadi produk dari transaksi gelap yang mencederai rasa keadilan publik. Pertanyaannya: akankah para pelaku benar-benar dihukum, atau kasus ini hanya akan menjadi lembaran skandal yang cepat dilupakan?
(Dani)